Penulis: Asri Tadda - Pengurus MASIKA ICMI Sulsel
Kyai kondang Indonesia pra Abdullah Gymnastiar, Zainuddin MZ (alm), dalam banyak ceramahnya sering merepetisi statemen bahwa dalam hidupnya, manusia sesungguhnya hanya berkutat pada lingkaran “harta-tahta-wanita” saja. Trilogi materiil tersebut sangat akrab kita jumpai sejak sejarah awal manusia hadir ke bumi, hingga di zaman modern saat ini.
Manusia hadir – diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi (khalifatul fil ‘ardi) yang secara metodis dituntun oleh pedoman suci “kitabullah”, dan secara fitrawi diberi kemerdekaan untuk “berimprovisasi” dalam hidupnya. Semua di atas berlangsung tiada lain karena eksistensi wujud azali manusia. Kita mengenal ada tiga terminologi yang dikenakan pada entitas yang bernama “manusia”, yaitu sebagai Al Insaan, An Naas, dan Al Bazaar. Ketiga terminologi ini berikut pemaknaan filosofis atasnya, menjadi karakteristik eksistensial manusia di dunia.
Hanya saja, dalam perkembangannya, saat berjumpa dengan realitas, manusia kerap terpaku pada jejak-jejak primordial yang melekat padanya. Dalam tradisi sufistik, entitas “manusia” merupakan titik tengah yang paling proporsional (dari ketiga termin entitas di atas), yang diseimbangkan oleh gradasi bawah (binatang) dan gradasi atas (malaikat).
Artinya, dalam diri manusia sesungguhnya terdapat dialektika kebinatangan dengan kemalaikatannya. Jika manusia tetap pada ranah kemanusiaannya, melaksanakan kewajiban transeden dan horizontal (hablun minallah dan hablun minannas), maka ia akan dipredikati sebagai “makhluk yang lebih mulia dari malaikat”. Sebaliknya, jika manusia justru terjebak dalam spektrum “keburukannya”, maka ia akan divonis “lebih hina” dari binatang!
Dalam konteks inilah, maka potensi-potensi “kebinatangan” yang secara fitrawi melekat dalam diri manusia, harus diredam sedemikian rupa sehingga tidak menjadi dominan dan menjatuhkan martabat. Karena itu, manusia mesti menjalankan “tanggung jawab eksistensialnya” jika ingin selamat dalam hidupnya. Melaksanakan tugas sebagai khalifah, di mana pun berpijak dibumi, adalah salah satunya.
Kembali ke trilogi materiil pada bagian awal tulisan ini. Dalam kenyataannya, manusia memang acap kali dihadapkan pada fenomena ini. Perkembangan zaman perlahan menghantar kita pada perjumpaan dengan realitas-hiper realitas yang bermula dari proses hipersimbolisasi. Memang sangat duniawi (baca: materialistik) sifatnya.
Trilogi “harta-tahta-wanita” menjadi ikon kapital sejarah manusia-manusia zaman modern sekarang ini. Meskipun tidak juga bisa dinafikkan adanya semacam proses “defensif” dari golongan-golongan “kanan” atas perkembangan kultur hedonis seperti ini. Trilogi “harta-tahta-wanita” secara substansial sebenarnya bisa disinonimkan dengan termin “kebinatangan”.
Saya lebih senang membahasakan fenomena ini sebagai proses “kapitalisme libidonis”, karena kemana pun, “harta-tahta-wanita” seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari entitas manusia, yang secara fluktuatif menggejala (me-libido). Jika tidak diapresiasi, maka potensi kompensasi negatif menjadi cukup memungkinkan terjadi.
Dalam perkembangannya, pedoman hidup (agama/religi) yang diturunkan bagi manusia berikut “kitab suci”-nya, selalu saja diperhadapkan pada “perang/jihad” melawan fenomena “kapitalisme libidonis”. Jihad, antara lain dapat dimengerti sebagai ikhtiar untuk mengembalikan manusia dari jebakan kebinatangan “harta-tahta-wanita”, sehingga manusia kembali “bersih/suci” seperti (kalau bisa) menjadi malaikat.
Trilogi kapitalisme libidonis “harta-tahta-wanita” mengukir sejarah peradaban sejak awal hingga sekarang. Pada sisi lain, upaya “normalisasi” yang diperankan oleh keyakinan religi/agama juga tetap berlangsung.
Tetapi, jika hendak jujur, sesungguhnya dalam beberapa segi, peranan agama/religi menjadi kurang terasa, khususnya dalam merubah mindset peradaban, dari keasyikan “kebinatangan” ke kemuliaan “malaikat”, atau seperti termin literatur, dari “kapitalisme hedonistik/libidonis” ke “sosialisme religius”.
Yang menggelikan, karena beberapa ikhtiar untuk me-reposisi “potensi kebinatangan” ini, justru kelihatan “terjebak” secara tidak langsung (kembali) dalam lingkaran “harta-tahta-wanita”. Masak ada “jeruk makan jeruk”?
Atau pada sisi lain, apakah agama/religi “belum mampu menjawab” realitas peradaban “kapitalisme libidonis” seperti halnya yang berlangsung sekarang ini? Kita tunggu “jawabannya”![]